Ancaman beban subsidi BBM yang mencapai lebih dari 60 trilyun rupiah (Kompas, 13 Mei 2005) memaksa pemerintah untuk menaikkan harga BBM - sebuah issue klasik yang selalu terjadi pada berbagai era pemerintahan di republik tercinta. Kenaikan harga solar yang menembus Rp 2,000 per liter jelas menjadi pukulan yang cukup telak bagi kalangan nelayan tradisional. Dalam kondisi antara "hidup dan mati" nelayan tradisional di tanah air terpaksa melakukan pilihan "cerdas" substitusi solar menggunakan minyak tanah untuk rumah tangga yang masih mendapatkan subsidi pemerintah. Meski menyalahi peruntukannya, tidak sedikit yang bersimpati dengan nasib para nelayan. Bupati Indramayu, Irianto MS Syafiuddin (Republika, 16 Juni 2005), anggota DPRD Jateng, Sutoyo Abadi dan anggota MPR, Bambang Raya Saputra (Kompas, 21 Agustus 2003) adalah beberapa pejabat yang tercatat bersimpati dengan nasib para nelayan tersebut. Tidak mudah untuk menyalahkan tindakan substitusi solar dengan minyak tanah yang dilakukan nelayan. Ini berbeda dengan tindakan nakal para "pengoplos" solar/bensin dengan minyak tanah, ataupun kalangan industri yang membeli jatah minyak tanah untuk rumah tangga: keduanya jelas meresahkan masyarakat. Tulisan singkat ini tidak berpretensi membahas dimensi sosial-politik-ekonomi tindakan para nelayan tersebut, namun mencoba memberikan gambaran penggunaan substitusi solar dengan minyak tanah tersebut dari sisi ilmiah.
Perkerabatan minyak tanah dan solar
Minyak tanah, solar, bensin, avtur (bahan bakar pesawat) merupakan produk minyak bumi yang berintikan hidrokarbon (tersusun atas atom hidrogen dan karbon) serta sejumlah zat lain, seperti nitrogen, oksigen, sulfur, dan sejumlah kecil unsur logam. Produk-produk minyak bumi tersebut dipisahkan dengan cara distilasi. Temperatur distilasi akan menentukan produk yang dihasilkan dari minyak bumi. Minyak tanah (light kerosene) memiliki rentang rantai karbon dari C10 - C15, sedangkan solar antara C10 - C20 (sumber: Wikipedia). Perbedaan minyak tanah dengan kerosene untuk bahan bakar pesawat adalah bahwa pada minyak tanah masih terdapat banyak unsur pengotor, baik skala molekuler ataupun partikel (debris). Dengan kata lain, minyak tanah adalah kerosene dengan mutu rendah.
Sekilas mesin diesel
Dunia otomotif pada umumnya didominasi oleh mesin diesel dan bensin. Perbedaan prinsip antara kedua mesin tersebut terletak pada sisi pengapian bahan bakarnya: mesin diesel menggunakan prinsip auto-ignition (terbakar sendiri), sedangkan mesin bensin menggunakan prinsip spark-ignition (pembakaran yang dipicu oleh percikan listrik pada busi). Mesin diesel memiliki rasio kompresi (perbandingan antara volume total silinder dan volume sisa/dead space) yang sangat tinggi: bisa mencapai 25:1. Tingginya rasio kompresi ini merupakan tuntutan mekanisme auto-ignition - perlu kompresi yang sangat tinggi untuk menghasilkan tekanan dan temperatur tinggi pada udara di dalam silinder. Sedangkan mesin bensin yang menggunakan spark-ignition tidak memerlukan kompresi tinggi pada campuran bahan bakar udaranya - justru rasio kompresi yang terlalu tinggi pada mesin bensin akan mengancam terjadinya knocking (fenomena terbakarnya bahan bakar sebelum waktunya - berpotensi menurunkan performa mesin dan menimbulkan kerusakan pada komponen mesin). Tingginya rasio kompresi pada mesin diesel memiliki aspek ganda: secara termodinamika, rasio kompresi yang tinggi akan meingkatkan efisiensi mesin, namun di sisi lain rasio kompresi yang tinggi juga menuntut kekuatan material dan assembly yang lebih tinggi pada mesin diesel. Perkembangan teknologi pada mesin diesel memungkinkan penggunaan mesin diesel pada kendaraan-kendaraan pribadi, bahkan hingga kendaraan mewah.
Bahan bakar mesin diesel
Terdapat beberapa kriteria yang perlu diperhatikan pada bahan bakar mesin diesel, diantaranya: (1) Angka cetane, yang menunjukkan tingkat kemudahan keterbakaran (flammability) (2) Sifat korosif bahan bakar terhadap komponen mesin (3) Potensi endapan/residu yang bisa timbul akibat pembakaran bahan bakar (4) Sifat lubrikasi bahan bakar terhadap komponen ruang bakar, dan (5) Zat-zat kimia berbahaya yang terdapat di dalam bahan bakar atau merupakan produk pembakaran (emisi gas buang). Berdasar informasi dari website Pertamina, angka cetane solar di tanah air berkisar antara 45 sampai 48. Angka tersebut tergolong rendah untuk ukuran Eropa, karena beberapa mobil bermesin diesel keluaran mereka telah mensyaratkan angka cetane sekitar 54/55 (Pikiran Rakyat, 20 Agustus 2004). Belum lagi dengan kandungan sulfur yang tinggi, yakni 0.5 wt% (500 ppm). Bandingkan dengan target Amerika mengenai kandungan sulfur pada solar yang diwajibkan pada tahun 2006 bisa mencapai 15 ppm, sedangkan Jepang dan Uni Eropa mensyaratkan kandungan sulfur pada solar mencapai 50 ppm pada 2005 dan kurang dari 10 ppm pada 2009. Di sisi lain, sulfur memberikan efek pelumasan pada komponen mesin diesel - sehingga pengurangan kandungan sulfur mewajibkan produsen untuk memberikan aditif untuk pelumasan.
Berbeda dengan bensin yang memiliki rantai karbon lebih pendek, rantai karbon solar yang panjang menyebabkan besarnya energi yang diperlukan untuk menghancurkan seluruh ikatan molekuler pada solar: timbulnya asap hitam yang khas pada saluran buang mesin diesel disebabkan tidak semua partikel solar dapat dihancurkan. Meski demikian, saat ini telah dikembangkan teknologi injeksi solar tekanan sangat tinggi (common-rail direct injection) ke dalam ruang bakar: ini membantu penghancuran partikel-partikel solar (Pikiran Rakyat, 20 Agustus 2004).
Substitusi solar dengan minyak tanah
Dilihat dari dekatnya rantai karbon pada hidrokarbon yang merupakan penyusun inti solar dan minyak tanah, substitusi solar dengan minyak tanah bukanlah sesuatu yang di luar dugaan. Dari website Pertamina diketahui bahwa minyak tanah memiliki kandungan sulfur yang lebih rendah dibandingkan solar (minyak tanah 0.2 wt% sedangkan solar 0.5 wt%). Ini berarti minyak tanah memiliki kemampuan pelumasan yang lebih buruk dibandingkan solar. Meski lebih baik untuk lingkungan, penggunaan minyak tanah tanpa aditif pelumas akan menyebabkan komponen mesin lebih cepat aus dalam jangka panjang. Dari segi korosivitas, minyak tanah tidak berbeda dengan solar.
Belum banyak penelitian yang membahas dampak pencampuran minyak tanah dan solar terhadap performansi mesin dan emisi gas buangnya. Asfar dan Hamed (1996) dari Jordan University of Science and Technology melaporkan bahwa pencampuran solar dan kerosene berhasil meminimalkan dampak negatif masing-masing komponen dan meningkatkan efisiensi thermal mesin. Pembakaran kerosene berlangsung pada temperatur tinggi: ini berpotensi menimbulkan NO (Nitrogen Oxide) yang pada kondisi lingkungan akan mudah membentuk NO2 (Nitrogen Dioxide) yang bersifat racun. Sedangkan dampak negatif pembakaran solar terhadap manusia terutama terletak pada ketidakmampuannya untuk menghancurkan semua hidrokarbon (tinggi kadar UHC ・Unburn Hydrocarbon). Dengan pencampuran kerosene dan solar, kedua dampak negatif tadi, NO dan UHC bisa ditekan. Namun sayang sekali tidak terdapat penegasan jenis kerosene yang digunakan dalam studi tersebut. Minimal ini bisa memberikan gambaran dampak thermal dan emisi akibat pencampuran minyak tanah dengan solar.
Praktek substitusi solar dengan minyak tanah di tanah air
Pikiran Rakyat, 13 Juni 2005, memberitakan sinyalemen dari Ketua Hiswana Migas (Perhimpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi) Cirebon, Andi Ahsan Effendi, bahwa sebelum digunakan sebagai bahan bakar, minyak tanah tersebut dicampur dengan oli bekas. Langkah tersebut kemungkinan dimaksudkan agar minyak tanah tersebut mampu memberikan efek pelumasan pada mesin diesel. Namun penggunaan oli bekas jelas mengundang resiko yang tidak ringan. Terdapat dua kekeliruan fatal pada penggunaan oli bekas sebagai aditif minyak tanah; pertama: oli bekas umumnya adalah oli mesin yang tidak dicampurkan langsung dengan bahan bakar, namun bekerja di luar ruang bakar (meski bisa juga berfungsi untuk melumasi komponen ruang bakar). Oli mesin jenis ini memiliki spesifikasi yang sangat berbeda dengan oli yang memang dicampurkan langsung pada bahan bakar. Oli yang langsung dicampurkan dengan bahan bakar (umumnya pada mesin 2 langkah) memiliki kegunaan, selain untuk pelumasan juga untuk mencegah terjadinya endapan di dalam ruang bakar. Sedangkan oli pelumas yang digunakan di luar ruang bakar tidak memiliki spesifikasi tersebut. Penggunaan oli pelumas semacam ini justru berpotensi menyebabkan terjadinya endapan di dalam ruang bakar. Endapan di dalam ruang bakar, selain menurunkan kinerja mesin, juga berpotensi menimbulkan kerusakan komponen ruang bakar - yang tidak murah dalam perbaikannya. Kekeliruan fatal kedua: pada oli bekas, ada kemungkinan terdapatnya partikel (debris) logam sebagai akibat gesekan antar logam pada mesin terdahulu. Masuknya partikel logam di ruang bakar jelas merupakan bahaya tersendiri bagi komponen ruang bakar. Sedangkan dari aspek rantai karbon, oli pada umumnya terbuat dari produk minyak bumi dengan jumlah karbon C16 - C20. Ini berpotensi menimbulkan sisa hidrokarbon (UHC) yang berbahaya bila terhirup dalam jumlah tertentu ke dalam pernapasan (sama dengan solar). Apalagi bila partikel-partikel logam juga sampai keluar dari mesin dan terhirup manusia ・ini akan memberikan dampak yang lebih buruk.
Kesimpulan
Secara teoritik, minyak tanah memang bisa digunakan sebagai substitusi solar pada mesin diesel. Kajian ilmiah pencampuran kerosene dan solar juga memberikan dampak positif baik dari sisi emisi gas buang ataupun efisiensi thermal. Namun perlu disadari bahwa minyak tanah tidak memiliki spesifikasi khusus untuk bahan bakar mesin pembakaran dalam (internal combustion engine). Dari kajian singkat di atas dapat dilihat bahwa minyak tanah tidak memiliki kemampuan pelumasan sebaik solar. Penggunaan oli bekas sebagai aditif pelumasan pada minyak tanah justru mengundang bahaya tersendiri, baik bagi mesin dan manusia di sekitarnya. Dampak negatif oli bekas tersebut akan mungkin timbul dalam jangka panjang secara kumulatif: baik bagi mesin, terlebih lagi bagi manusia di sekitarnya. Ketidakmampuan nelayan membeli solar adalah fakta: pemerintah mestinya melakukan tindakan darurat bagi mereka tanpa menimbulkan potensi bahaya yang lebih besar.
Minggu, 13 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar